LEARNING THEORY (TEORI BELAJAR)

 TUGAS 7

Ulfah Aulia Dewi Yanti

Pendidikan Matematika S1 2017, Universitas Negeri Yogyakarta
Dosen pengampu: Prof. Dr. Marsigit , M.A

LEARNING THEORY (TEORI BELAJAR)

Berikut ini beberapa teori belajar yang termuat dalam Cmap Theory Learning :

1.      Teori Behaviourism (Behavioristik)

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.  Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.  Selain itu, dalam teori belajar ini motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar. Pandangan teori ini menganggap bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.

Teori Behavioristik menganggap bahwa siswa merupakan gelas kosong yang menunggu untuk diisi, pengetahuan merupakan diluar dari pembelajar, behaviour dibentuk oleh konsekwensi.

Kelebihan teori belajar ini adalah tujuannya jelas dan juga baik untuk siswa yang butuh pembiaasaan.

Kekurangan teori belajar ini adalah tidak memperhitungkan pemikiran, penalaran dan lain-lain, jika stimulus hilang, pelajar mungkin tidak memiliki strategi alternatif dan mungkkin menyebabkan untuk menghindari pembelajaran.

 

2.      Teori Belajar Pendekatan Kognitif

Teori belajar behavioristik lama kelamaan tergantikan oleh teori belajar kognitif. Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.

Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Teori Belajar Kognitif ini meliputi :

 

A.     Teori Belajar Sosial Kognitif (Bandura)

Social learning theory memandang pembentukan kepribadian individu sebagai respons atas stimulus sosial. Ia menekankan konteks sosial alih-alih isi batin individu. Teori ini menekankan bahwa identitas individu bukan hanya merupakan hasil alam bawah sadarnya (subconscious), melainkan juga karena respons individu tersebut atas ekspektasi-ekspektasi orang lain. Perilaku dan sikap seseorang tumbuh karena dorongan atau peneguhan dari orang-orang di sekitarnya. Seperti yang ditekankan oleh Bandura :

“Social learning theory memandang pembentukan kepribadian individu sebagai respons atas stimulus sosial. Ia menekankan konteks sosial alih-alih isi batin individu. Teori ini menekankan bahwa identitas individu bukan hanya merupakan hasil alam bawah sadarnya (subconscious), melainkan juga karena respons individu tersebut atas ekspektasi-ekspektasi orang lain. Perilaku dan sikap seseorang tumbuh karena dorongan atau peneguhan dari orang-orang di sekitarnya”

      Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning);

a.      Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement.

b.      Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.

      Bandura mengidentifikasi adanya tiga model dasar pembelajar melalui pengamatan:

1.      Melalui model hidup (live model) yang bisa mencontohkan sebuah perilaku secara demonstratif.

2.      Melalui model instruksional verbal (verbal instructional model) yang bisa mendeskripsikan dan menjelaskan suatu perilaku.

3.      Melalui model simbolik (symbolic model) yang menggunakan tokoh-tokoh nyata atau fiktif yang menampilkan perilaku-perilaku tertentu dalam buku, film, program televisi, atau media online.

      Teori kognitif sosial (social cognitive theory) ini menekankan bahwa di samping faktor sosial, faktor kognitif dan mental individu memainkan peran penting dalam pembelajaran.Faktor kognitif adalah ekspektasi atau harapan individu untuk meraih keberhasilan. Bandura dengan demikian mengembangkan model yang dapat disebut deterministik resiprokal, yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu: (a) perilaku, (b) person/ kognitif, dan (c) lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan memengaruhi perilaku; perilaku memengaruhi lingkungan, begitu pula faktor person/kognitif memengaruhi perilaku. Yang dimaksud faktor person oleh Bandura antara lain terutama pembawaan, kepribadian, dan temperamen; sementara faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.

      Ada banyak faktor yang harus diperhatikan dalam perubahan perilaku individu setelah melakukan pengamatan. Menurut Bandura, dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam empat tahap, yaitu: perhatian, mengingat, reproduksi gerak, dan motivasi.

a)      Perhatian (attention): Individu cenderung memerhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Perhatiannya tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang ia kira dimiliki oleh model. Contohnya, seorang pemain musik yang tidak percaya diri mungkin akan meniru tingkah laku pemain musik yang terkenal sehingga tidak menunjukkan gayanya sendiri.

b)      Mengingat (retention): Individu yang sedang belajar harus merekam peristiwa yang ingin ia tiru dalam sistem ingatannya. Ini memberikan kesempatan kepadanya untuk meniru atau mengulang tindakan itu kelak bila diperlukan atau diingini.

c)      Reproduksi gerak (reproduction): Setelah mengetahui atau mempelajari suatu tingkah laku, individu juga cenderung menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan kembali apa yang ia ingat dalam bentuk tingkah laku. Misalnya, kemampuannya dalam berbahasa asing atau bermain bola. Jadi setelah ia memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk benarbenar mempraktikkan contoh perilaku yang diamatinya. Praktik lebih lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.

d)      Motivasi (motivation): Motivasi juga penting dalam pemodelan Bandura karena ia adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Jadi, ia harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan.

 

B.      Teori Belajar Pemrosesan Informasi Kognitif (Piaget)

Model pemrosesan informasi ini didasari oleh teori belajar kognitif (Piaget) dan berorientasi pada kemampuan peserta didik memproses informasi yang dapat memperbaiki kemampuannya. Pemrosesan Informasi merujuk pada cara mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep, dan menggunakan simbol verbal dan visual. Ilmu kognisi (cognitive science) merupakan kajian mengenai inteligensi manusia, program computer, dan teori abstrak dengan penekanan pada perilaku cerdas, seperti perhitungan (Simon&Kaplan, 1989).

Teori pemrosesan informasi atau kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985). Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.  Asumsinya adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Pembelajaran merupakan keluaran pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia.

Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:

1        Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.

2        Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.

3        Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki siswa. Kelemahan- nya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.

 

C.      Teori Pembelajaran Bermakna (Ausubel Assimilation)

Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi apabila seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.

Ada beberapa tipe belajar menurut Ausubel yaitu :

1.       Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.

2.       Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3.       Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

Kelebihan belajar bermakna (meaningful learning), yaitu:

1.      Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat

2.      Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip

3.      Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah lupa.

4.      Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi apabila seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.

Kemudian yang termasuk ke dalam langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel:

1.      Menentukan tujuan pembelajaran.

2.      Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya).

3.      Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.

4.      Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa.

5.      Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.

6.      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

 

D.     Teori Belajar Kognisi Terdistribusi (Hutchin)

kognisi terdistribusi adalah cabang ilmu kognitif yang mengusulkan kognisi dan pengetahuan tidak terbatas pada individu, melainkan didistribusikan di seluruh benda, individu, artefak, dan alat-alat di lingkungan. Teori belajar ini dipelopori oleh Edwin Hutchins.

Tujuan Kognisi terdistribusi adalah untuk menjelaskan bagaimana didistribusikan unit dikoordinasikan dengan menganalisis interaksi antara individu, representasi media yang digunakan, dan lingkungan dimana kegiatan tersebut dilakukan. 

Pendekatan kognisi terdistribusi memiliki tiga komponen utama :

a.      Perwujudan informasi yang tertanam dalam representasi informasi

b.      Koordinasi pemberlakuan antara agen yang diwujudkan

c.       Kontribusi ekologis untuk ekosistem kognitif

Kognisi Terdistribusi adalah tentang mendefinisikan mekanisme proses kognitif: memori misalnya di kokpit yang mencakup proses internal, manipulasi fisik dari obyek, dan penciptaan / pertukaran representasi eksternal.

DCog mempelajari cara ingatan, fakta, atau pengetahuan tertanam dalam objek, individu, dan alat di lingkungan kita. DCog adalah pendekatan yang berguna untuk merancang aspek kognisi yang dimediasi secara teknologi dengan memberikan penekanan pada individu dan lingkungannya, dan saluran media yang berinteraksi dengan orang, baik untuk berkomunikasi satu sama lain, atau berkoordinasi secara sosial untuk melakukan kompleksitas. tugas. Kognisi terdistribusi memandang sistem kognisi sebagai seperangkat representasi yang disebarkan melalui media tertentu, dan memodelkan pertukaran informasi antara media representasi ini. Representasi ini dapat berupa ruang mental peserta atau representasi eksternal yang tersedia di lingkungan.

Interaksi ini dapat dikategorikan menjadi tiga jenis proses yang berbeda:

a.      Proses kognitif dapat didistribusikan ke seluruh anggota kelompok sosial.

b.      Proses kognitif dapat didistribusikan dalam arti bahwa operasi sistem kognitif melibatkan koordinasi antara struktur internal dan eksternal (material atau lingkungan).

c.       Proses dapat didistribusikan melalui waktu sedemikian rupa sehingga produk dari peristiwa sebelumnya dapat mengubah sifat peristiwa terkait.

Kognisi terdistribusi, yang sering memanfaatkan data etnografis dikumpulkan, tidak begitu banyak metode; lebih akurat, itu adalah kerangka deskriptif berguna yang menjelaskan sistem kerja manusia dalam hal informasi dan komputasi. Hal ini berguna untuk menganalisis situasi yang melibatkan pemecahan masalah.Karena membantu memberikan pemahaman tentang peran dan fungsi media representasi, ia memiliki implikasi untuk desain teknologi dalam kegiatan mediasi, karena para desainer sistem akan memiliki model, kuat jelas tentang pekerjaan.Oleh karena itu, teori penting untuk bidang-bidang seperti CSCL, CSCW, HCI, desain pembelajaran, dan pembelajaran jarak jauh.

 

 

 

 

 

3.      Teori Belajar Perkembangan Kognitif

 

A.     Teori Kognitif / Epistemology Genetic (Piaget)

Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahanperubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.

Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.

Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif.

Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;

 

 

1.       Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)

Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana.

2.       Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.

Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami obyek.

Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun) anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas.

3.       Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan bendabenda yang bersifat konkrit.

4.       Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa.

 

B.      Teori Sosiokultural (Vygotsky)

Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).

Beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :

1.      Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.

2.      Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.

3.      Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.

4.      Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.

5.      Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi.

Menurut Vygotsky proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial.

 

C.      Discovery Learning (Bruner)

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic.

1. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.

2. Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambargambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).

3. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci.

 

4.      Teori Belajar Kontruktivisme (Papert)

Pembelajaran konstruksionis adalah ketika peserta didik membangun model mental untuk memahami dunia di sekitar mereka. Konstruksionisme menganjurkan pembelajaran penemuan yang berpusat pada siswa di mana siswa menggunakan informasi yang sudah mereka ketahui untuk memperoleh lebih banyak pengetahuan. [1] Siswa belajar melalui partisipasi dalam pembelajaran berbasis proyek di mana mereka membuat hubungan antara berbagai ide dan bidang pengetahuan yang difasilitasi oleh guru melalui pembinaan daripada menggunakan ceramah atau panduan langkah demi langkah. [1] Lebih lanjut, konstruksionisme berpendapat bahwa pembelajaran dapat terjadi paling efektif ketika orang aktif membuat objek berwujud di dunia nyata.

Seymour Papert mendefinisikan kata “konstruksionisme adalah mnemonik untuk dua aspek teori pendidikan sains yang mendasari proyek ini. Dari teori psikologi konstruktivis, kami memandang pembelajaran sebagai rekonstruksi daripada sebagai transmisi pengetahuan. . Kemudian kami memperluas gagasan bahan manipulatif ke gagasan bahwa belajar paling efektif ketika bagian dari suatu aktivitas yang dialami pelajar sebagai membangun produk yang bermakna.”

Pembelajaran berbasis masalah adalah metode konstruksionis yang memungkinkan siswa untuk mempelajari suatu subjek dengan mengekspos mereka pada berbagai masalah dan meminta mereka untuk membangun pemahaman mereka tentang subjek melalui masalah tersebut.

Papert telah menjadi pendukung besar dalam membawa teknologi ke ruang kelas, dimulai dengan penggunaan awal bahasa Logo untuk mengajar matematika kepada anak-anak. Sementara konstruksionisme, karena dorongannya, terutama digunakan dalam pengajaran sains dan matematika (dalam bentuk sains berbasis inkuiri ), konstruksionisme berkembang dalam bentuk yang berbeda di bidang studi media di mana siswa sering terlibat dengannya. teori dan praktek media secara bersamaan dalam sebuah praksis yang saling melengkapi. Baru-baru ini telah mendapatkan pijakan dalam linguistik terapan di bidang akuisisi bahasa kedua (SLA). Salah satu aplikasi tersebut adalah penggunaan permainan populer SimCity sebagai sarana pengajaran bahasa Inggris dengan menggunakan teknik konstruksionis.

 

5.      Teori Aktivitas (Leont’ev)

Teori aktivitas lebih merupakan meta-teori atau kerangka kerja deskriptif daripada teori prediksi. Ini menganggap seluruh sistem kerja / aktivitas (termasuk tim, organisasi, dll.) Di luar hanya satu aktor atau pengguna. Ini menjelaskan lingkungan, sejarah orang, budaya, peran artefak, motivasi, dan kompleksitas aktivitas kehidupan nyata.

Tujuan dari teori aktivitas adalah memahami kemampuan mental seorang individu. Namun, ia menolak individu yang terisolasi sebagai unit analisis yang tidak memadai, menganalisis aspek budaya dan teknis dari tindakan manusia .

Teori aktivitas paling sering digunakan untuk menggambarkan tindakan dalam sistem sosio-teknis melalui enam elemen terkait (Bryant et al. Sebagaimana didefinisikan oleh Leonti'ev 1981 dan didefinisikan ulang dalam Engeström 1987) dari sistem konseptual yang diperluas oleh teori yang lebih bernuansa:

a.      Berorientasi objek - tujuan dari sistem aktivitas. Objek mengacu pada objektivitas realitas; item dianggap obyektif menurut ilmu alam tetapi juga memiliki properti sosial dan budaya.

b.      Subjek atau internalisasi - aktor yang terlibat dalam aktivitas; gagasan tradisional tentang proses mental

c.       Komunitas atau eksternalisasi - konteks sosial; semua aktor yang terlibat dalam sistem aktivitas

d.      Alat atau alat mediasi - artefak (atau konsep) yang digunakan oleh aktor dalam sistem. Alat memengaruhi interaksi aktor-struktur, mereka berubah dengan mengumpulkan pengalaman. Selain bentuk fisik, ilmu juga berkembang. Alat dipengaruhi oleh budaya, dan penggunaannya merupakan cara untuk mengumpulkan dan menyebarkan pengetahuan sosial. Alat mempengaruhi agen dan struktur.

e.      Pembagian kerja - strata sosial, struktur hirarki kegiatan, pembagian kegiatan di antara para pelaku dalam system

f.        Aturan - konvensi, pedoman dan aturan yang mengatur aktivitas dalam system

 

6.      Teori Belajar Konektivisme (Siemens)

Teori connectivisme, diperkenalkan pertama kali oleh George Siemens, dimana teori ini mengintegrasikan prinsip-prinsip yang digali melalui teori chaos, jejaring, kompeksitas dan self organizing. Di dalam teori ini, pembelajaran merupakan suatu proses yang terjadi di dalam lingkungan perubahan inti pembelajaran yang tidak sepenuhnya dalam kendali oleh seorang individu. Menurut teori connectivisme, kegiatan pembelajaran dimulai dari kegiatan mengetahui sampai dengan kegiatan menciptakan pengetahuan yang dapat dilakukan (actioneble knowledge).

Pengambilan keputusan di era digital, akan didasarkan pada landasan-landasan yang berubah secara cepat, karena informasi baru akan diperoleh secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga diperlukan kemampuan untuk dapat membedakan mana informasi yang penting dan tidak penting. Beberapa prinsip utama dalam teori connectivisme anta lain (1) pembelajaran merupakan suatu proses penghubungkan beberapa sumber informasi, (2) mendorong dan memelihara hubungan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran berkelanjutan (continual learning), (3) kemutakhiran dan keakuratan pengetahuan merupakan tujuan dari kegiatan pembelajaran, (4) dapat memilah, memilih dan mengelola informasi untuk penentuan pengambilan suatu keputusan. Menurut teori connectivism, pengetahuan dapat disistribusikan melalui jaringan informasi dan dapat disimpan didalam format digital. Connectivism berkaitan dengan pengembangan kognisi. Siemens (2008) menggambarkan kategori pembelajaran kedalam tiga framework epistemologi, yang disebut dengan objectivism, pragmatism dan interpretivism. Objectivism berkaitan dengan pola pikir, pengetahuan dan persepsi. Di dalam pragmatisme dinyatakan bahwa pengetahuan merupakan sebuah negoisasi antara refleksi, pengalaman, inquiry serta suatu tindakan. Interpretivism memposisikan bahwa pengetahuan berada pada konstruksi internal serta diinformasikan melalui sosialisasi dan budaya.

Pengambilan keputusan di era digital, akan didasarkan pada landasan-landasan yang berubah secara cepat, karena informasi baru akan diperoleh secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga diperlukan kemampuan untuk dapat membedakan mana informasi yang penting dan tidak penting. Beberapa prinsip utama dalam teori connectivisme anta lain (1) pembelajaran merupakan suatu proses penghubungkan beberapa sumber informasi, (2) mendorong dan memelihara hubungan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran berkelanjutan (continual learning), (3) kemutakhiran dan keakuratan pengetahuan merupakan tujuan dari kegiatan pembelajaran, (4) dapat memilah, memilih dan mengelola informasi untuk penentuan pengambilan suatu keputusan. Menurut teori connectivism, pengetahuan dapat disistribusikan melalui jaringan informasi dan dapat disimpan didalam format digital. Connectivism berkaitan dengan pengembangan kognisi. Siemens (2008) menggambarkan kategori pembelajaran kedalam tiga framework epistemologi, yang disebut dengan objectivism, pragmatism dan interpretivism. Objectivism berkaitan dengan pola pikir, pengetahuan dan persepsi. Di dalam pragmatisme dinyatakan bahwa pengetahuan merupakan sebuah negoisasi antara refleksi, pengalaman, inquiry serta suatu tindakan. Interpretivism memposisikan bahwa pengetahuan berada pada konstruksi internal serta diinformasikan melalui sosialisasi dan budaya.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ainiyah, Qurrotul. 2017. “Social Learning Theory dan Perilaku Agresif Anak dalam Keluarga”. Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum.Vol 2, No. 2.

[Anonim]. 2019. “Modul Teori Belajar dan Pembelajaran”. http://ftik.iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2019/06/MODUL-TEORI-BELAJAR-DAN-PEMBELAJARAN.pdf (akses 13 November 2020)

Heylighen, Francis; Heath, Margaret and Van Overwalle, Frank (2003). "The Emergence of Distributed Cognition: a conceptual framework," available on ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/249812898_The_Emergence_of_Distributed_Cognition_a_conceptual_framework (akses 13 November 2020)

Leont'ev, A. “Activity, Consciousness, and Personality”. https://www.marxists.org/archive/leontev/works/1978/index.htm  (akses 13 November 2020)

Papert, S.; Harel, I (1991). "Constructionism". Ablex Publishing Corporation: 193–206. Retrieved September 20, 2017.

Rahmah, Nur. 2013. “Belajar Bermakna Ausubel”. Al Khawarizmi. Vol 1

Rahmadonna, Sisca. “Teori Belajar Sosiokultur (Lev Vygotsky)” di http://staffnew.uny.ac.id/upload/198407242008122004/lainlain/Teori+Belajar+Sosiokultur.pdf (akses 13 November 2020)

Rehallat, Aminah. 2014. “Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 23, No. 2.

Siyamta,d.k.k. 2016. “Teori Connectivism dalam Pembelajaran sebagai Pendukung Sistem Adaptive E-learning and Big Data Personalized Learning”. Prosiding 2016 : 418 – 424.

Theories – How do Learning Theories Influence and Connect each other. http://141.26.69.231:8081/rid=1J4WFW3B5-188TSW6-9K2/Theories.cmap (akses 13 November 2020)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Priori Sintetik dan Estetika Transendental

IMPLEMENTASI FILSAFAT DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA