IMPLEMENTASI FILSAFAT DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
TUGAS 8 (AKHIR)
Ulfah Aulia Dewi Yanti
IMPLEMENTASI FILSAFAT
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Filsafat
merupakan olah pikir. Ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat
ialah: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan. Kata ketakjuban
/ keheranan/ kekaguman mengandung arti ada subjek (yang kagum) dan ada objek
(yang dikagumi). Yang kagum adalah manusia, dan yang dikagumi adalah segala
sesuatu yang ada dan yang dapat diamati. Pada awalnya segala sesuatu dijelaskan
melalui mitos-mitos (takhayul - takhayul). Hal ini mengakibatkan keraguan
manusia dan merangsang untuk ingin tahu dengan akalnya. Keraguan merangsang
timbulnya pertanyaan, dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia
berfilsafat. Sifat dasar filsafat adalah Berpikir Radikal (sampai ke
akar-akarnya); Mencari Asas (esensi realita); Memburu Kebenaran; Mencari
Kejelasan (kejelasan seluruh realita); Berpikir Rasional (logis sistematis).
Matematika adalah alat yang dapat
membantu memecahkan berbagai permasalahan (dalam pemerintahan, industri,
sains). Dalam perjalanan sejarahnya, matematika berperan membangun peradaban
manusia sepanjang masa.
Belajar filsafat adalah belajar
mengenai yang ada dan yang mungkin ada, yang artinya dalam hal ini belajar
matematika dengan menggunakan filsafat adalah belajar yang bermain dengan
logika.
Menurut Aristoteles, prinsip
pertama dan utama dalam matematika saat ini adalah abstraksi, karena bagi para
filsuf Yunani yang mengembangkan matematika, kebenaran pada hakikatnya hanya
bersangkut paut dengan suatu entitas permanen serta suatu keterhubungan dan
pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian, jelas sejak semula
matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman filsafat, tetapi juga
merupakan bagian dari pemikiran filsafat itu sendiri. Menurut Kant, matematika
murni itu merupakan sintetik a priori sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang
dan waktu sedangkan matematika terapan itu apostteori sepanjang
proposisi-proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang
proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan waktu.
Dalam arti yang luas dapatlah
dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang
pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat
tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang berpendapat filsafat
pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan.. Filsafat tentang
proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode, dan hasil
dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan
bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep,
ide-ide, dan metode - metode ilmu pendidikan.
Menurut Wein (1973), pendidikan
matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan
sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang akan
berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa,
bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang
mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”
Dengan demikian, filsafat
pendidikan matematika mempersoalkan masalah-masalah berikut: (a) sifat dasar
matematika, (b) sejarah matematika, (c) psikologi belajar matematika, (d) teori
mengajar matematika, (e) psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar
matematika, (f) pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan (g) pelaksanaan
kurikulum matematika di kelas.
Dalam filsafat pendidikan
matematika ini secara khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang
sejak tahun sembilan puluhan banyak diikuti.
Konstruktivisme mempengaruhi
banyak studi tentang “salah pengertian” (misconceptions) dan pengertian
alternatif dalam belajar matematika. Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi,
Fisher dan Lipson, 1986, mendapati bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan
dan pengertian mencakup suatu proses aktif dan konstruktif”.
Menurut konstruktivisme, kegiatan
belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuannya.
Siswa mencari makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah
proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah
ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil
belajarnya (Shymanski, 1992).
Menurut konstruktivisme, mengajar
bukanlah memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan
justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount,
1989).
Berpikir yang baik lebih penting
daripada mempunyai jawaban yang baik terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari.
Siswa yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya
dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan
pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini
berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu,
siswa masih dapat mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah
membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme,
peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa agar
proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa yang
belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Penjabaran guru sebagai mediator dan
fasilitator adalah sebagai berikut.
1.
Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan
siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan
ceramah).
2.
Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan
sarana yang mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung
proses belajar.
3.
Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah
pikiran siswa jalan atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu
mengevaluasi kesimpulan siswa.
Dengan mengimplementasikan
filsafat dalam pembelajaran matematika diharapkan siswa dapat lebih memahami
tentang matematika dan penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sukardjono. 2011. Hakekat dan Sejarah Matematia. Jakarta :
Universitas Terbuka.
Wein, G. T. (1973). Mathematics Education. London: Van
Nostrand.
Komentar
Posting Komentar