IMPLEMENTASI FILSAFAT DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 TUGAS 8 (AKHIR)

Ulfah Aulia Dewi Yanti

Pendidikan Matematika S1 2017, Universitas Negeri Yogyakarta
Dosen pengampu: Prof. Dr. Marsigit , M.A

IMPLEMENTASI FILSAFAT DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 

            Filsafat merupakan olah pikir. Ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat ialah: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan. Kata ketakjuban / keheranan/ kekaguman mengandung arti ada subjek (yang kagum) dan ada objek (yang dikagumi). Yang kagum adalah manusia, dan yang dikagumi adalah segala sesuatu yang ada dan yang dapat diamati. Pada awalnya segala sesuatu dijelaskan melalui mitos-mitos (takhayul - takhayul). Hal ini mengakibatkan keraguan manusia dan merangsang untuk ingin tahu dengan akalnya. Keraguan merangsang timbulnya pertanyaan, dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia berfilsafat. Sifat dasar filsafat adalah Berpikir Radikal (sampai ke akar-akarnya); Mencari Asas (esensi realita); Memburu Kebenaran; Mencari Kejelasan (kejelasan seluruh realita); Berpikir Rasional (logis sistematis).

Matematika adalah alat yang dapat membantu memecahkan berbagai permasalahan (dalam pemerintahan, industri, sains). Dalam perjalanan sejarahnya, matematika berperan membangun peradaban manusia sepanjang masa.

Belajar filsafat adalah belajar mengenai yang ada dan yang mungkin ada, yang artinya dalam hal ini belajar matematika dengan menggunakan filsafat adalah belajar yang bermain dengan logika.

Menurut Aristoteles, prinsip pertama dan utama dalam matematika saat ini adalah abstraksi, karena bagi para filsuf Yunani yang mengembangkan matematika, kebenaran pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen serta suatu keterhubungan dan pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian, jelas sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman filsafat, tetapi juga merupakan bagian dari pemikiran filsafat itu sendiri. Menurut Kant, matematika murni itu merupakan sintetik a priori sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang dan waktu sedangkan matematika terapan itu apostteori sepanjang proposisi-proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan waktu.

Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan.. Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-ide, dan metode - metode ilmu pendidikan.

Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”

Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan masalah-masalah berikut: (a) sifat dasar matematika, (b) sejarah matematika, (c) psikologi belajar matematika, (d) teori mengajar matematika, (e) psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar matematika, (f) pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan (g) pelaksanaan kurikulum matematika di kelas.

Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan puluhan banyak diikuti.

Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah pengertian” (misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika. Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson, 1986, mendapati bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses aktif dan konstruktif”.

Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992).

Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount, 1989).

Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.

Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut.

1.      Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah). 

2.      Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung proses belajar.

3.      Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi kesimpulan siswa.

Dengan mengimplementasikan filsafat dalam pembelajaran matematika diharapkan siswa dapat lebih memahami tentang matematika dan penerapannya.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sukardjono. 2011. Hakekat dan Sejarah Matematia. Jakarta : Universitas Terbuka.

Wein, G. T. (1973). Mathematics Education. London: Van Nostrand.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Priori Sintetik dan Estetika Transendental

LEARNING THEORY (TEORI BELAJAR)